GIANYAR - Polemik warga masyarakat adat Desa Adat Pejeng Kawan, Gianyar dengan saudaranya yang melibatkan prajuru Desa Adat Pejeng Kawan berakhir dengan ancaman Kanoroyang atau Kesepekang.
Kanorayang sendiri adalah salah satu sanksi yang berlaku bagi masyarakat Desa Pekraman, dimana krama yang dikenakan sanksi adat ini akan dikeluarkan dari persekutuan desa pakraman, hal ini dikarenakan krama tersebut melakukan pelanggaran yang telah membuat keseimbangan dalam Desa Pakraman menjadi terganggu.
Tapi coba kita lirik sedikit permasalahnya dari pemberitaan sebelumnya (Klik untuk Link)
Dalam peraturan yang mengatur dalam Perda 4 tahun 2019 tentang Desa Adat dan semua turunannya disana tidak ada kewenangan Bendesa atau Majelis Desa Adat (MDA) dapat melakukan eksekusi, bahkan termasuk pengambilan paksa sertifikat krama adat bahkan pada peraturan daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2003 tentang Desa Pekraman dan pasal - pasal yang membelah karang atau membagi fisik karang ayahan.
Yang artinya disini, bila terjadi sengketa tanah adat dalam keluarga yang sifatnya sengketa tanah tentu harus penyelesaiannya melalui hukum positif yang berlaku di Indonesia, itu dikarenakan sertifikat tanah merupakan produk BPN sebagai instansi pemerintah. Yang kesimpulannnya penyitaan suatu benda atau barang atau pembongkaran hanya boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum bila sudah adanya keputusan yang inkrach, diluar itu bisa saja dikatagorikan tindak pidana.
Menghubungi keluarga Dewa Putu Pica, melalui putra ke-2 nya Dewa Okta menyebutkan dirinya merasakan tekanan yang tidak nyaman dengan perlakukan ini.
"Tiang (saya) kecewa, kalo ini terjadi bukannya namanya main hakim sendiri, saya kan hanya berpendapat dan saya bertahan dipendapat saya. Kalo bongkar dan membagi karang (halaman rumah) itu kan ada biaya mecah karang dan bila jalan umum harus ada tembok pemisah, siapa yang membiayai semua nantinya, "ungkapnya kepada awak media, Rabu (26/10/2022), dikediamannya.
Tentu itu menjadi pertanyaan yang masuk akal, karena membelah fisik karang ayahan untuk jalan perlu adanya upacara kembali karena itu terjadi di pekarangan runah yang sudah diupacarai.
"Saya memohon kepada prajuru Adat dan MDA untuk mengerti dan menghormati keluarga titiang yang sudah mewarisi prinsip-prinsip, baik Dresta Bali dan budaya adi luhung, yang menjaga tatanan Parahyangan, Pawongan dan Palemahan"
Konfirmasi berlanjut perihal pembinaan hukum positif melalui Kasat Binmas Polres Gianyar, AKP Gede Endrawan, SH., MH, memberikan keterangan bahwa dirinya mengambil langkah persuasif kepada kedua belah pihak.
"Mereka membutuhkan mediator untuk memberikan pilihan jalan, memang setiap jalan yang ada nantinya tidak akan mulus 100%, tetapi jalan itu dapat dipertimbangkan untuk dipilih, "ujarnya melalui sambungan telepon, Jumat (28/10/2022).
Beliau juga mengutarakan butuh waktu karena terbentur upacara di Bali, untuk mempertemukan kedua belah pihak antara Dewa Pica dan Dewa Suta yang merupakan keluarga kandung ini.
"Saya sudah bicarakan juga untuk masalah Kanorayang atau Kesepekang-kesepekang itu untuk diberikan waktu lagilah, karena sesuai SOP dari Kanorayang adalah adanya teguran tertulis pada awalnya berdasarkan Paruman-Paruman lalu Pamidanda, meprayascita, kerampag dan lainnya, itu butuh 1 tahun loh, itu baru bisa dilakukan Kanoroyang"
Artinya bahwa harus adanya tahapan-tahapan melalui paruman desa adat bahkan sampai mengadili krama yang diduga bersalah dan dibuktikan kesalahannya melalui Kertha Desa yang merupakan hakim (hakim perdamaian) di sebuah Desa Adat yang tentu ada saksi dan kondisi yang dilanggar.
"Bila ujug-ujug 2 x 24 jam misalnya tentu itu ada SOP yang dilanggar, boleh saja kesepekang tapi itu bila 'memati-mati orahin' (berkali-kali) tidak bisa diberitahu, "pungkasnya.
Menghubungi Bendesa Adat Pejeng Kawan, Anak Agung Gde Ngurah menanyakan soal surat keputusan Bendesa Adat Desa Adat Pejeng Kawan, Nomor : 02 Tahun 2022 tentang Kanoroyang, yang dikenakan kepada I Dewa Putu Pica Sekeluarga Banjar Dukuh Geria, Desa Adat Pejeng Kawan, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar.
Dikatakan disana bahwa I Dewa Putu Pica tidak mentaati dan tidak menghormati keputusan MDA kabupaten Gianyar. Tentu permasalahan ini berawal dari masalah keluarga, yang berujung di MDA. Sikap Bendesa yang mengatakan bahwa dirinya hanya menindaklanjuti keputusan MDA Kabupateb Gianyar dari pesan elektronik yang dikirimnya itu juga menunjukan tanda tanya besar, yang seharusnya Desa Adat itu otonom dan keputusan berasal dari paruman-paruman Agung yang dihadiri oleh prajuru-prajuru adat dan krama desa adat. Hasil itulah yang menjadi ujung tombak penyelesaian suatu masalah bukan gaya komando dari MDA itu sendiri.
"Yang bersangkutan (Dewa Pica) tidak mau melaksanakan keputusan tersebut (membuka jalan umum), hanya menindaklanjuti keputusan MDA Madya Kabupaten Gianyar, "ungkap Bendesa, Jumat (28/10/2022).
Ia juga menolak mengatakan bahwa itu Kesepekang / Kanoroyang tetapi hanya sanksi yang diberikan sesuai dengan urutannya. Ia juga menekankan dalam pemberitaan harus berimbang dan tidak sampai memprovokasi masyarakat dan mencari berita juga jangan sembarangan.
Tentu konfirmasi ini adalah untuk mendapatkan jawaban - jawaban dari berbagai pihak agar masyarakat yang membaca tidak dapat terdoktrin, terpengaruh bahkan melakukan sikap-sikap anarki, dan sebagai sosial kontrol yang tetap tidak memihak tetapi mengedepankan fakta yang ada di lapangan.
Bendesa juga menekankan bahwa 'Kesepekang' berbeda dengan 'Kanoroyang', lalu ditunjukan screenshot google, ia mengelak juga bahwa,
"Untuk konoroyoyang sane memargi ring dese adat pejeng beda ngih ten ten pateh sekadi ring gugel"
Mungkin yang dimaksud oleh Bendesa adalah Kanoroyang yang ada di Desa Adat Pejeng berbeda artinya dengan yang ada di Google.
"Dalam keputusannya, wenten (ada) tahapan sanksi yang dilalui, 1 dan 2 tahapan tidak juga mau dilaksanakan baru Kanoroyang atau diberhentikan sementara dari Desa Adat, "tutupnya. (Ray)